Monday, March 31, 2014

Becoming Is Better than Being

Saya membaca sebuah note di grup Milenial Learning Center. Tulisan ini dibuat oleh Pak Harry Santosa. Cukup menggugah kesadaran. Semoga idealita kita tentang bagaimana persekolahan itu diselenggarakan tetap bisa dijalankan dengan baik di Sekolah Alam Jingga. Di sini saya memberikan warna gelap untuk beberapa penekanan hal yang saya naggap penting. Selamat menikmati ^_^
Becoming is better than being” ― Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success
“…when people already know they’re deficient, they have nothing to lose by trying.” ― Carol S. Dweck, Mindset
“I don’t mind losing as long as I see improvement or I feel I’ve done as well as I possibly could.” ― Carol S. Dweck, Mindset
Kita bahas sedikit hasil studi tentang anak-anak pandai yang berpotensi gagal, dan sebaliknya dari Prof Carol S Dweck (Stanford). Carol mengumpulkan dua kelompok anak-anak. Kelompok pertama adalah anak2 berprestasi tinggi dan sadar dikenal sebagai anak pandai di sekolah. Kelompok ke kedua, terdiri dari anak-anak yang prestasi akademisnya biasa-biasa saja dan ketika ditanya mnjawab, “I am survive”. yang jelas mereka bukan “anak pintar”.
Kedua kelompok di interview dan diberi soal-soal yang terdiri dari soal yang mudah (sudah pernah diajarkan dan gampang) dan soal-soal sulit. Selama experimen, dalam pelaksanaannya ternyata anak-anak kelompok pertama banyak protes ketika mengerjakan soal-soal sulit yang belum diajarkan dan mereka menolak mengerjakannya. Lembar jawaban tidak di isi dan mereka mengatakan ” ini belum diajarkan”
Mungkin karena mereka pandai maka mereka tahu apa yang mereka ketahui dan yang tidak diketahui. Sebaliknya, anak-anak yang mengaku “survived” justru mengerjakan semua soal. Mereka kurang peduli apakah itu sudah diajarkan atau belum mereka tidak protes, tidak peduli dengan image mereka sekalipun nilainya akan jeblok atau di nilai kurang pandai. Setelah menjalankan tes, semua anak diajak bicara dan di minta menuliskan surat pada seseorang tentang pengalaman mereka selama ikut eksperimen itu.
I am Survive!
Carol tersentak, ternyata anak-anak dari kelompok pandai melebih-lebihkan diri mereka, bercerita lebih hebat dari yang bisa atau mau mereka kerjakan sedangkan kelompok kedua bercerita apa adanya. Kelompok pertama, dalam suratnya mengaku di beri soal mudah dan sulit, dan keduanya mereka kerjakan dengan hebat.
Setelah melalui analisis mendalam dan wawancara terstruktur, Dweck menemukan dua tipe manusia yang menentukan sikapnya terhadap sukses atau gagal.
Dia mengatakan begini: “After seven experiments with hundreds of children, we had some of the clearest findings I’ve ever seen: Praising children’s intelligence harms their motivation & harms their performance. How can be? Don’t children love to be praised?
"Benar, anak-anak senang dipuji. Khususnya terhadap bakat dan kecerdasannya. Pujian mendorong gerakan, keindahan—but only for the moment." "The minute they hit a snag, their confidence goes out the window and their motivation hits rock bottom If success means they’re smart, then failure means they’re dumb. That’s the fixed mindset.” ― Carol S. Dweck
Jadi mau pandai atau kurang pandai, muaranya akan pada kegagalan kalau setinggan pikirannya adalah FIXED MINDSET. Ini masalahnya, banyak pendidik mengukur kecerdasan dari kemampuan belajar di atas kertas, bukan kemampuan anak mengelola hidup. Dan kalau seorang anak sudah percaya bahwa ia sudah pandai, juara, dst..maka ia bisa merasa sudah selesai, sudah hebat, sudah cukup…
FIXED MINDSET memiliki kecenderungan seperti:
1) Merasa paling pandai sehingga tak berani mencoba hal-hal baru setiap kali mencoba hal baru dan dinilai kurang bagus, kurang pandai, maka ia akan sangat mudah kecewa dan mengungkapkan kekecewaannya
2), Mereka umumnya juga tak bisa menerima kenyataan orang lain dinilai lebih baik dari dirinya
3) Sulit menerima tantangan baru, mencoba hal baru yang sama sekali tak dikenal dan tak disukainya, dan menolak menghadapi kesulitan
4) Mereka tak mudah menerima kritik, otaknya mudah hang dan keriting thd kritik atau negative feedback. Padahal orang maju butuh itu.
Terhadap orang lain yg lebih dinilai sukses, lebih dinilai bagus dalam fase berikutnya, maka ia menyambut dengan sinisme. Itulah yang membuat orang pandai terkotak dalam batasan yang ia buat sendiri, sementara yang merasa “survive” bisa tumbuh dan berubah. Orang yg “survive” seringkali merasa kurang pandai, maka ia mencoba terus, segala kemampuannya. Dari sesuatu yang ia kalah cepat memulainya. Maka bukan awal yang menentukan sesuatu, tetap bagaimana kita menaklukkan rintangan dalam perjalanan itu, menumbuhkan sesuatu yang kurang beruntung awalnya. Itulah yg disebut Carol Dweck sebagai GROWTH MINDSET.
Maka dia katakan, “Becoming is better than being” ― Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success artinya, “berupaya menjadi” (becoming) jauh lebih baik daripada ” memiliki sesuatu” (being). Ia melanjutkan, “I believe ability can get you to the top,” says coach John Wooden, “but it takes character to keep you there. It’s so easy to … begin thinking you can just ‘turn it on’ automatically, without proper preparation It takes real character to keep working as hard or even harder once u’re there. When u read about an athlete wins over and over when you read about an athlete that wins over and over, remind yourself, ‘More than ability, they’ve character.’ ” ― Carol S. Dweck.
Karakter itu fondasinya dibentuk dari kecil, dipertajam saat dewasa, dan dikoreksi lewat gerinda yang keras untuk membongkar keangkuhan. Maka orangtua, jangan bangga dengan prestasi akademik sekolah anak2 yang dipaksakan melalui les dan les dan les. Anak-anak butuh pembentukan mindset, yang kita kenal sebagai self regulation. Mereka harus di latih meregulasi diri agar terbuka terhadap perubahan. Mereka butuh kemampuan beradaptasi, respek terhadap perbedaan dan keunggulan orang lain, mau mencoba hal baru bukan cepat baca kalimat, mengenal huruf, hapal rumus, tahu ini tahu itu lebih dulu dari yg lain. Semua itu gampang disusul orang lain. Mereka juga perlu dilatih kreativitas, berani mencoba hal baru, siap koreksi diri, berdamai jiwa, tidak melakukan hal yg tak terpuji. Semua itu disebut sebagai executive functioning, dan dalam buku Ellen Gallinsky disebut “Essential Life Skills”.
Pujian itu penting, tetapi hidup dalam pujian juga bisa rawan. Lantas apa salahnya failed? “I don’t mind losing as long as I see improvement or I feel I’ve done as well as I possibly could” C.Dweck
Lebih jauh lagi, “If parents want to give children a gift, the best thing they can do is to teach their children to love challenges be intrigued by mistakes, enjoy effort, and keep on learning. That way, their children don’t have to be slaves of praise dengan mendidik seperti itu, “They will have a lifelong way to build and repair their own confidence.” ― Carol S. Dweck. Itulah yang disebut Paul Stoltz sebagai The Climbers. Ayo hidup sesuatu yang sulit, jangan takut gagal. Orang Korea bahasa Inggrisnya lebih buruk dari anak-anak Indonesia tapi lebih banyak yang masuk doktoral program di USA. Dan orang Korea juga banyak gagal, setiap tahun selalu ada yang drop out dari doctoral program. Tetapi kini mereka bisa menyaingi Apple.
Begitu juga bangsa China, Taiwan, India, Israel dll. Mereka lebih sering gagal di sekolah daripada anak-anak kita. Tetapi mengapa dalam hidup selanjutnya, setelah sekolah, anak-anak kita yang sekolahnya hebat, ya biasa2 aja prestasi hidupnya…why? Saya pun becermin dalam hidup saya, saya orang yang dulu belajarnya susah, jauh lebih susah daripada anda semua tetapi saya pantang menyerah, pantang membenci, pantang mendendam, saya selalu mencari jalan.
Dengan mengakui bahwa kita terperangkap dalam FIXED MINDSET telah menjadi titik awal sebuah perubahan, lanjutkan terus, buka apa yg harus dilakukan jika anak-anak kita memang hebat, cerdas dan cepat menyelesaikan math (misalnya) dengan benar dan logic?
Ini jawaban DweckI say, “Whoops. I guess that was too easy. I apologize for wasting your time. Let’s do something you can really learn from!” Carol S. Dweck. Sesuatu yg sangat sering saya rasakan dan lihat belakangan ini: banyak orang blaming others terhadap kegagalan atau kekalahan yang dialaminya. Blaming others (menyalahkan orang lain) misalnya mengatakan juri tidak adil, dicurangi, dipersulit, pilih kasih, sudah ada “pemenangnya”, dst. Padahal kemenangan itu butuh cara, butuh sikap sebagai pemenang, dan salah satunya: never ever blame others…

https://www.facebook.com/groups/millennial/permalink/623602951054637/

Sunday, March 9, 2014

Kode CSS dan Mempercantik Blog

Senang lihat tulisan berjalan di blog? Belajar yuk... ini linknya http://theseoart.blogspot.com/2013/02/cara-membuat-tulisan-marquee-bergerak.html

Hal yang menarik lainnya adalah memasang related post. Apalagi tuh? Hehehe... maksudnya, ada link yang memudahkan para visitor mengetahui artikel yang labelnya sama. Klik link http://www.linkwithin.com/learn?ref=widget

Memasang aquarium atau hewan peliharaan di blog? Klik  http://abowman.com/google-modules/
tutorialnya: http://terjemahcinta.blogspot.com/2010/11/yuk-piara-ikan-dan-hamster.html

Ada ikon welcome? Klik http://widgetindex.blogspot.com/2010/03/copy-widget-code-and-paste-it-on-your_4182.html

Mau pasang link facebook (badge)? Klik https://www.blogger.com/add-widget
Boleh buka www.terjemahcinta.blogspot.com

Tips untuk menambah gadget, ikuti langkah berikut:

Template lucu, salahsatunya bisa ambil di sini: tempalte > layout > add a gadget (lihat bar sebelah kanan atas) > HTML/JavaScript (copy paste kodenya dari salah satu css di: http://shabbyblogs.com/design/blogger-backgrounds/

link list --> tambah link
cara ini bisa digunakan untuk menambah gadget lain

Apa itu favicon? favicon itu gambar yang muncul di nama blog di tab yang kita buka. Mau bikin? Caranya gampang kok. coba deh klik tutorialnya: http://vipergoy.blogspot.com/2013/11/cara-membuat-favicon-blog.html

Nambah tab? Gampang kok. dari dashboard  > pages (ke bar sebelah kiri) > New Page > Isi blanknya > save > publish

Selamat berkreasi ;)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...