Project Almanak, satu-satunya film yang salah tonton. Salah karena
mengajak anak-anak menonton. Banyak adegan kissing
dan adegan ranjangnya. Akhirnya Ayahnya anak-anak keluar bersama dua bocilku
setelah menutup mata mereka kanan dan kiri dalam waktu sekitar 15 menit.
Tadinya kami berencana menonton Penjuru 5 Santri bersama tim guru kelas di
Sekolah Alam Jingga. Konon film itu lumayan bagus dan ada beberapa bagiannya
yang mirip secara konsep dengan penerapan di sekolah alam.
Overall saya tidak
menyesal karena ada sisi-sisi yang bisa saya ambil sebagai insight. Setelah menonton, saya kumpulkan mereka dan sharing
sedikit. Inti sharingnya adalah, “Kita tidak pernah mampu melompat ke masa yang
lalu untuk memperbaiki hari yang akan datang. Kita juga tak akan bisa melompat ke masa depan untuk mengetahui
apa yang akan terjadi. Satu hal yang dapat kita lakukan adalah menjalani berkah
hidup ini sebaik mungkin. Manakala kehidupan kita jalani dengan mengeksplorasi
potensi diri secara maksimal, yakinlah akan terjadi perubahan besar dalam
kehidupan. Kita juga tidak akan pernah tahu jejak kebaikan yang kita buat saat
ini dampaknya akan seperti apa pada diri sendiri, keluarga, atau masyarakat.
Kita tidak pernah tahu akan seluas apa radius gerakan yang dilakukan secara
terus menerus itu.”
Mendirikan sekolah alam memang bukan hal mudah. Sama dengan
mendirikan sekolah lain pada umumnya, namun tingkat kesulitannya lebih tinggi. Model
yang dikembangkan belum memiliki pola baku dan secara sistem belum mendapatkan
tempat khusus di Dinas Pendidikan. Sekali pun jujur saja, menjalankan sekolah
ini menjadi begitu menyenangkan. Kami tinggal mengembalikan pendidikan ini ke
jalurnya: (1) bersekolah itu menyenangkan, (2) bersekolah itu sesuai dengan
fitrah (3) bersekolah itu memfasilitasi bertumbuhnya insan ke misi penciptaan,
yaitu menjadikan manusia sebagai Khalifah
fil Ardh (pemimpin di muka bumi).
Bagi lembaga-lembaga pendidikan yang meyakini model
persekolah yang seperti ini sebagai model persekolahan yang mereka jalankan,
maka mereka itu akan saling melirik lalu saling tertarik lalu berkumpul dalam
satu kekuatan lalu melakukan gerakan riil yang akan menarik lebih kuat lagi
institusi lain. Seperti magnet, maka tarikan ke arah tertentu akan menguat dan
menciptakan bentuk lain yang lebih
konstruktif dari inti gerakannya.
Saya sampaikan pada guru-guru yang saya cintai itu,
gadis-gadis muda yang penuh energi (berasa tua :p), dan tentu saja bukan
berasal dari Universitas Pencetak Guru, bahwa kegiatan mengajar yang mereka
lakukan adalah momen-momen sejarah bagi murid kita. Mungkin ketulusan para guru
ini benar-benar pada level “dewa” hingga tak hirau dengan penghargaan. Namun,
dipercaya atau tidak, para juara di kelas kita adalah para juara di kehidupan. Murid
kami yang tiap diri adalah juara, kelak akan sangat berterima kasih dengan
ketulusan dan kekayaan akan pengalaman yang mereka lalui di kelas yang dipandu
oleh guru-guru tulus itu.
Saya minta mereka merekamnya dalam tulisan, kelak akan kita cetak dan kita bagikan pada orang tua murid dan guru-guru lain di sekolah lain. Sederhana saja. Kami berharap gerakan kecil kami yang baru berusia 2 (dua) tahun ini akan menginspirasi. Kami berharap gerakan ini juga akan membuat gerakan yang lebih besar lagi dan berefek lebih luas dan dalam jangka waktu yang lama.
“Jangan pernah menganggap sepele satu kebajikan sederhana.
Bisa jadi kebajikan sederhana itu adalah kekayaan jiwa yang akan membantu orang
lain menemukan cahaya. Lakukan kebajikan itu terus menerus dan lakukan secara
bersama, maka akan banyak jiwa yang diterangi dengan sinar dan menyinari
sekelilingnya,” batinku meneguhkan semangat.
Apakah mengembangkan konsep sekolah alam itu sederhana? Bagi
saya ya, sangat sederhana. Sesederhana proses mengenal Tuhan kita. Menjadi tak
sederhana lagi karena benturan realita yang rumit. Menjadi kompleks ketika
penyeragaman arah juang seolah jalan buntu. Menjadi di luar dari kenormalan
karena hal ini sudah tak lazim.
Dulu Nabi Ibrahim membenarkan dzat tunggal Allah SWT melalui
pengamatan terhadap fenomena alam. Saat ini manusia mengenal konsep tauhid dari
doktrin guru di depan kelas. Kalau pun ada percobaan-percobaan ilmiah untuk menunjukan
bukti kebenaran kalimat Allah dalam Al Quran, maka dikira keterlaluan. “Wong
cukup diimani kok. Ngapain repot-repot uji coba?”
Kesederhaan yang mengembalikan pendidikan pada fitrahnya
sering disandingkan dengan kemunduran ke masa lalu. Tapi, tahukah
kita...orang-orang bule di barat sana menganggap pola ini adalah model
modernisasi. Bertani di pekarangan di sebut sebagai Urban Gardening. Padahal
Rasulullah sudah berabad lalu menyampaikan tentang bertanam, bertani merupakan
bagian atau tindakan sedekah yang kemanfaatannya sangat panjang.
Di sekolah alam anak-anak diajarkan untuk mengalami dua hal
di atas dan masih banyak lagi pengalaman belajar yang akan menghantarkan mereka
pada pembentukan pribadi yang shaleh dan berdaya guna. Kelak, diharapkan
anak-anak ini akan menjadi pemuda yang mengetahui bagaimana cara dirinya
bereksistensi di dunia ini. Mereka akan berkembang sesuai dengan potensinya. Mereka
bukan hanya akan bersinergi dengan kekuatan lokal di bumi tempat ia berpijak,
tapi juga akan menarik kekuatan ruhiyah pada pusaran keyakinan yang teguh dan
utuh. Di tempat mereka berkembang nanti akan kita temui ketulusan tanpa niat
terselubung, kebahagiaan tanpa senyum kamuflase, kemakmuran tanpa ada dominasi
atau pun monopoli di bidang-bidang kehidupan. Keadilan tanpa permainan
kekuasaan.
Ya. Di sekolah alam akan kita saksikan apa-apa yang
bertumbuh di bawah hujan dan apa-apa yang teguh di bawah badai. Salam
pendidikan.
No comments:
Post a Comment