Monday, March 2, 2015

That's All About A Promise

Baru saja pulang nonton Ode to My Father. It was a very good and recomended movie for us (serius, mata saya agak bengkak karena adegannya begitu menyentuh. hehehe...lebaydotkom) Ya memang harus disensor beberapa scene karena film ini backgroundnya adalah Perang Dunia II dan ada beberapa adegan ekspresi cinta sejoli yang tentu di luar batas bagi kita yang muslim.



Overall it's nice to know that deep inside a man heart... it's still a secret room to keep a promise. Tokoh utama yang saya lupa namanya itu (:p) diam-diam begitu melankolik dan bertindak seolah di luar nalar "kedewasaan". Ia masih menyimpan janjinya di masa kecil ketika perpisahan terjadi dengan sang ayah yang berusaha menyelamatkan adiknya. Ia yang kala itu diminta memikul peran sebagai kepala keluarga berusaha sekuat mungkin menjalankan amanah. Tentu dengan sisi kekanakan yang tak bisa dihapus sekali pun melalui kejamnya masa peperangan.

Versi Bahasa Inggris
yang katanya punya makna lebih dalam
dari pada terjemahannya.
Tentu saja tidak dengan tiba-tiba juga saya jadi mengaitkan dengan buku Stones into School  yang ditulis oleh seorang bule. Novel yang juga dari kisah nyata itu berangkat dari janji seorang pendaki gunung pada sebuah komunitas miskin yang ia temui dalam perjalanannya mendaki. Ia, Greg berjanji akan datang dan mendirikan sekolah. Ya, lokasi yang sama-sama bukan hanya miskin tapi juga terancam kepunahan akibat penyakit dan perang saudara. Ya disebut saudara juga sepertinya pihak bertikai tak pantas disebut saudara karena mereka berasal dari satu rumpun dan bicara dari satu bahasa ibu. Entah apalah namanya, daerah konflik pasti menyisakan pilu yang terwariskan, perih, dan mendalam.

Kalaulah kehidupan ini bagi sebagian orang adalah watunya untuk bersenang-senang...ternyata jauh di bagian dunia yang lain ada bagian dari hidup yang tidak bisa dibungkam. Apalah lagi namanya jika bukan suara orang-orang yang berkorban atau pun terkorban. Tapi, satu hal yang pasti...perjuangan itu tidak lain dan tak juga bukan adalah satu jalan yang tak bisa dihindari untuk mencapai kemenangan. Kata lain dari kemenangan adalah kebahagiaan. Orang yang berkorban atau terkorban ini suatu saat akan berbisik pada para keturunannya yang belum juga terlahir, "Beruntunglah bukan kalian yang merasakan ini. Kalau pun kepedihan ini masih berulang dan kita masih di lingkaran yang sama maka berjuang dan bertahanlah karena suatu hari kita ini akan bertemu dan berkumpul lagi."

Sebuah janji pertemuan akan menguatkan kaki para pejuang kehidupan karena ya, hidup ini tak pernah mudah. Tak pernah benar-benar mudah.

Saya melirik lagi tab yang masih saya biarkan di browser setelah beberapa hari berselancar pada keyword yang sama. Sekali lagi saya menggantungkan cita-cita itu pada bait doa. Mungkin saatnya belum tepat untuk mengejar beasiswa dan kuliah lagi. Masih banyak prioritas hidup yang harus didahulukan. Mungkin beasiswa adalah cita-cita yang akan saya wujudkan nanti sejalan dengan ridha Allah SWT. Mungkin jika Allah SWT telah ijinkan, semua perangkat telah siap, dan semua tugas-tuugas dalam skala prioritas nyaris rampung...jalan itu akan terbuka. Saya tak ingin menjadi orang yang ingkar akan janji. Saya akan penuhi hak jiwa saya untuk belajar banyak di perkuliahan nanti. Ya, nanti...bukan sekarang. Janji itu pasti manakala Allah ijinkan. Ketika saat itu tiba, saya akan berdoa dengan sungguh-sungguh...agar janji hati ini terlaksana. Saat berdoa nanti tak ada keraguan untuk menempuhnya karena saya tahu pasti...jalan itu jalan keridhaan.

Baik Ode to My Father maupun Stones to Schools mengajarkan saya banyak hal. Alhamdulillah. Lovely hubby...thanks for the movie...love you more day by day. Semoga kita bisa menggapai mimpi untuk membahagiakan anak-anak kita dan mengembangkan komunitas tempat anak-anak kita bertumbuh kelak hingga menjadi manusia yang amanah. Teguh pada janjinya, teguh memperjuangkan mimpi-mimpinya.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...