Thursday, May 7, 2015

24 April 2015 - Tulis Ulang

Di lorong IGD menunggu dijemput
Photo di sampingi ini berkisah tentang kejadian pada Jumat, 24 April 2015 atau 20 hari yang lalu. Ya sepertinya saya tak salah ingat. Kecelakaan terjadi pagi hari sekitar pukul 10.00 WIB. Saya diboceng motor dan suami yang mengendarai. Seingat saya pula posisi motor sudah benar berada di kiri dan angkot berjejer berhenti karena macet di bulan-bulan (beberapa meter sebelum pintu perlintasan kereta api Bekasi). Tiba-tiba saya jatuh di atas trotoar. Motor agak jauh sedikit. Masih berada di posisi aspal. Saya cek rasanya tak ada yang sakit dan menghampiri suami yang tidak bangun dari posisi duduk menahan sakit.

Ternyata seorang penumpang angkot K15 turun dan membuka pintu dengan keras hingga kami yang sedang melaju itu pun terpental. Laki-laki etnis china itu tinggi besar. Ia memarahi kami dan memaki suami. Saya heran betul sampai tak bisa berkata apa-apa. Sambil membuka helm dan jaket yang dikenakan suami, saya mencoba mengembalikan logika yang sempat shock itu. Tak ada kalimat yang saya keluarkan melihat kedua orang ini berargumen. Semakin lama semakin banyak yang datang dan mereka membenarkan bahwa lelaki itulah yang salah.

"Makanya, bawa motor itu ngga usah kenceng-kenceng. Nyalip kok sebelah kiri?"
"Ya udah ngga usah berlebihan. Mau biaya berapa? Ayo selesaikan saja di sini. Saya buru-buru mau kerja. Kalau ada aparat, mereka juga bisa tahu kalau kamu yang salah."
Kira-kira ceracauan inilah yang terus-terusan dilontarkannya berapi-api Sungguh tak masuk akal. Di manakah orang ini hidup? Mungkin lama di Eropa. Posisi motor di Indonesia memangdi lajur sebelah kiri, Semua orang juga tahu. Kedua, jelas-jelas polisi akan meminta saksi mata di sekitar kejadian dan tentu mereka akan mempersalahkan dia. kok masih berani manggil aparat. yang ketiga dari kalimatnya jelas dia lengah karena terburu-buru, membuka pintu tanpa melihat arah kiri belakang dan samping.


Agak terengah saya mengatur emosi. maklum dia lebih tua dan saya tak terbiasa membentak orang. "Ya sudah satu juta. bapak bayar satu juta'"
Dia melengos dan bilang, "saya juga pernah kecelakaan. Kalau cuma begini masak satu juta? Coba cek di rumah sakit... ada rekam medis saya di sana."
Akhirnya saya beranikan diri untuk agak menekan, "Itukan kondisi Bapak. Sekarang Bapak lihat suami saya tidak bisa bangun. Bawa dulu ke rumah sakit dan pastikan dia tidak apa-apa. Kalau soal Bapak buru-buru harus kerja, Bapak kan bisa telpon Boss Bapak bahwa ada kejadian seperti ini."

Supir angkot yang ternyata masih muda itu mendatangi saya sambil mengembalikan handphone suami yang terjatuh dan diamankannya.
"Engga usah lama-lama Pak, Bu. bawa ke rumah sakit saya antar. Bisa panjang urusannya kalau polisi datang. Daerah sini banyak yang operasi."

Yup, akhirnya Bapak yang sebut saja namanya X itu masuk setengah bingung ke angkot. Suamiku digotong beberapa orang setelah saya minta tolong orang di sekitar kejadian untuk membantu sementara supir ABG yang bertato dan wajahnya kurang pas untuk ukuran supir itu menolak mendekat. "Saya ngga berani Bu, Lemes."

Ok, saya titpkan motor kami yang spionnya pecah sebelah di sebrang jalan. Bukan saya juga sebenarnya yang menuntun motor, tapi meminta tolong salah satu "penonton" yang sempat kasih saya saran untuk menitipkan Vario Biru yang retak-retak itu.
"Mas, bisa tolong bantu saya bawa motor ke sebrang? Saya masih gemetar." Sungguh saya mengingatkan diri saya agar bisa mengatur logika sebaik mungki sementara rasanya diri ini ingin sekali menangis.

Di jalan saya berkoordinasi melalui HP dengan Pak Isnan pelan-pelan untuk memberi tahu kondisi dan kemungkinan tak kembali ke Jingga hari itu dan juga dengan Bang Okim, yang toko percetakannya akan kami lewati sebelum sampai RSUD Bekasi. Supir angkot ikutan koordinasi lewat HP, "Bu, saya pinjam HP ya. Mau telpon om saya. Ini angkot dia soalnya."  Sigap akhirnya mereka terlihat muncul satu persatu. Turun dari angkot ternyata ada satu saksi mata yang ikut. Saya beryukur sekali masih ada orang-orang baik yang siap membantu dan menemani. Mereka adalah pertolongan yang Allah turunkan pada kami.

Semua orang menunggu di pintu luar RSUD. Sebelumnya saya berbisik dan minta tolong Teh yanti, istri Bang Okim untuk membantu menangani Pak X. "Saya khawatir ngga kuat, Teh ngadepinnya. Dia kan orang tua. tapi tetap posisinya salah. Dia harus tanggung jawab." Alhamdulillah beliau mendekati dan sepertinya berbincang dengan Pak X, Supir Angkot yang akhirnya ditemani familinya, juga Bapak Saksi Mata. Tak berapa lama, Pak Isnan datang.

Di bed dorong, suamiku terbaring dengan serpihan kaca spion yang menancap di beberapa area lengannya. Sayang sekali, penanganan pertama lama dilakukan. Pedih hati saya melihat suami merintih menaha sakit.

"Pak bisa minta tolong luka suami saya dibersihkan?"  Saya menghampiri seorang perawat yang lewat di dekat kami.
"Ada luka yang berdarah?" Tanyanya singkat.
"Tidak. Tapi ini banyak beling menancap di lengannya."
"Nanti saja Bu, sekalian ditangani dokter."

Oh Gusti Nu Agung... Pedih banget dengarnya. Tapi saya ngga mau terlihat sedih di depan suami.
"Yang sabar ya Sayang. Nda ngurus administrasi dulu." Rasanya ingin teriak, tapi...jangan. Sabar...nanti ngga bisa mikir kalau marah-marah.
"Bun, jangan lupa...minta KTP orang itu." Masih terlihat geram di wajahnya. Maklumlah, ia ikutan masuk ruang IGD dan memberi penjelasan ke bagian informasi bahwa kami bersalah karena menyalip.

Hilir mudik saya urus administrasi. Bibir dan hati ini selalu dzikir. Memohon ketenangan. Dari satu loket ke loket lain dari satu lorong ke lorong lain, yakin sepenuhnya pertolongan Allah sangat dekat. Saya juga mengikuti prosesnya dipindah ke bagian rontgen. Mengintip ke ruang rontgen dan ikutan dengar sedikit petugasnya baca hasil rontgen.
"Iya nih, di bawah lutut kiri. Patah."
Ya Allah... Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun. Sabar. Ini ketetapan-Nya. Allah tak akan meninggalkan kita sendirian. Semangat!

Bed dorong beserta suamiku yang lemas diposisikan lagi ke lorong dekat pintu masuk. Kali ini di jajaran pasien yang menunggu pemeriksaan dari dokter. Saya diberi resep untuk ditebus. Sepertinya pereda nyeri dan perban elastis 14 inchi... entah apalagi. Belakangan saya baru tahu bahwa sisanya adalah kayu bidai .

Dokter datang dan menerima hasil rontgen. Ah...akhirnya. Alhamdulillah.
"Pak, coba angkat kakinya. Bisa nggak?" Hasil rontgen dalam amplop coklat besar di tangannya tidak dibaca sama sekali.
"Ngga bisa, Pak." Suamiku menjawab singkat
"Ya udah, patah itu." Jawab Sang Dokter yang juga sama-sama singkat.
Tirai pembatas ditarik menghalangi pandangan. Saya perlahan mundur memberi ruang para perawat dan dokter untuk membidai suami. Terdengar teriak kesakitannya lagi. rentak hati saya. Tak kuat. Beringsut saya duduk di luar. Orang-orang baik yang menghantar kami saat itu sedang shalat jumat. Bening dingin menitis. Akhirnya menangis juga.

Sebenarnya saya tak hendak mengabari papa dan mama tentang hal ini. beliau berdua sedang di rumah sakit hermina bekasi menunggu giliran kontrol papa.  Apa daya, kabar ini harus sampai karena kaki suamiku patah dan bukan keseleo.
"Ma, aku mau ngabarin. Ini, tadi aku dan mas sahid kecelakaan. Sudah rontgen dan ternyata kakinya patah." Pelan dan tertata baik, aku bicara.
Mama memintaku bersabar dan memberi tahu bahwa mereka masih menunggu panggilan dokter. Beberapa kali telpon, dan akhirnya papa mengingatkan bahwa tak ada yang menginginkan terjadinya musibah. Maafkan dan lepaskan orang tersebut. Jika mau bantu perawatan ya syukur kalau tidak ya sudah."

Pak X akhirnya bersedia mengganti biaya yang saya keluarkan di rumah sakit. Semua bon diminta Bang Okim dan diserahkan untuk ditotal.Entah apakah sang supir angkot ikut urunan atau tidak, atpi mereka menurut perintah Bang Okim untuk berembug.

Saya kembali ke dalam dan menemani suami yang terpejam sebentar. Seorang pegawai yang pertama kali menerima data suami menghampiri dan mengajak saya ngobrol.
"Mau dirawat di sini atau dibawa pulang?"
"Kalau dirawat di sini tindakannya apa Pak?"
"Ya operasi Bu, pasang pen"
"Bawa pulang saja Pak."
Alhamdulillah tak ada kebingungan dalam wajah beliau mendengar jawabanku. Ada beberapa analisa singkat. Pertama, kamar RSUD penuh dan pasien BPJS biasanya merepotkan... atau kemungkinan kedua, beliau paham bahwa penanganan non medis mempunyai efek yang juga tak kalah baik.
"Ke alternatif ya?" tanyanya lagi.
"Iya, Pak. Terima kasih banyak ya Pak, bantuannya."
Pegawai itu tersenyum. Mungkin paham bahwa saya sangat butuh dukungan moril. Sebuah senyuman sudah lebih dari cukup saat itu.

Singkat cerita (maklum sudah malam :p) Om Rusyid yang sahabat papa dan mama datang. Beliau menghantar kami ke ahli patah tulang. Pertama, ke Guru Singa. Mereka ingin agar suamiku dirawat inap di sana. Wah, tentu kami menolak. Bagaimana dengan pasukanku di rumah? Pondok Kelapa - Bekasi Utara bukan jarak yang dekat. Akhir Om Rusyid membawa kami ke Haji Naim, daerah Cilandak. Jauh tapi alhamdulillah...hingga hari ini progress kesembuhan suamiku sangat signifikan.

Pengalaman berobat atau terapi ke haji Naim akan menyuusul di tulisan selanjtnya. Klik di sini...

Hehe...nulisnya sudah lebih santai sekarang
tempo hari masih berbombay ria sedih dan... ya gitu deh :D

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...