Perkembangan berbahasa manusia paling awal dimulai dari mendengar. Indera pendengaran paling pertama berkembang sejak dalam kandungan. Otak anak manusia merekam suara-suara yang sering ia dengar sehingga ketika lahir ia dapat mengorelasikan suara dengan sosok yang perlahan secara visual menjadi jelas di matanya. Selanjutnya dengan suara dan intonasi yang ia pelajari, sang anak akan belajar mengorelasikan suara, intonasi, dan mimik.
Fase peniruan dilakukan dalam
rangka memberikan respon pada dunia di luar kandungan. Anak belajar menggunakan
indera pengecap yang juga dapat menghasilkan suara. Tahap babbling pun menambah
jenis suara yang dihasilkan oleh anak selain menangis dan tertawa. Pada tahap tertentu, ia mulai mengucapkan satu
kata, diikuti beberapa kata, sehingga dapat memproduksi satu kalimat utuh dan
dapat dimengerti orang di sekitarnya.
Kemampuan berbicara akan meningkat
menjadi keterampilan berkomunikasi yang dipelajari tiap anak manusia secara
natural. Ditambah dengan didikan yang menekankan pada adab dan akhlak, dipastikan
kemampuan berbicara seorang anak akan berkembang dengan baik. Banyak sekali
ungkapan yang menyiratkan betapa kemampuan berbicara dapat membawa
keberuntungan atau bahkan kehancuran satu orang hingga satu bangsa.
Pengibaratan lisan (sebagai
perwakilan istilah bicara) dengan pisau yang ketajamannya bisa melukai penutur
atau pendengar, sangat akurat. Berbicara yang sifatnya natural dapat dilakukan
dengan proses berpikir walau terkesan otomatis namun peran otak dalam mengelola
pilihan kata yang ingin disampaikan tidak bisa dielakan. Maka, mengenai lisan
yang menjadi pisau adalah perkataan yang dihasilkan tanpa melalui proses
berpikir yang panjang. Sekali lagi, hal ini terjadi karena proses berpikir yang
dilakukan penutur tidak dilatih dengan adab yang baik hingga menghasilkan
penilaian akhlak yang buruk.
Berbeda dengan menulis yang
membutuhkan kemampuan berpikir satu tahap di atas berbicara, pertanggungjawaban
dan efek penulisan lebih berat lagi. Sebuah tulisan dapat menjadi bukti
sejarah. Produksi kepenulisan dapat membuka wawasan dan menggerakan. Lebih jauh
lagi, tulisan dapat menjadi warisan peradaban. Maka, sebuah kebudayaan sangat
bergantung dengan kualitas kepenulisan dan konsumsi tulisan masyarakat pada
masanya. Mengapa kekuatannya bisa lebih dahsyat? Tentu saja karena untuk
menulis, manusia memerlukan wawasan yang beragam. Ia harus mampu memilih kata yang sesuai
untuk disampaikan dengan cara yang benar pada pembacanya agar maksud penulis
bisa sampai dengan baik.
Mari kita lihat kualitas tulisan
yang beredar di sekitar kita dan mungkin saja menjadi konsumsi anak-anak
penerus bangsa. Berapa banyak hal baik yang mereka cerap? Berapa banyak hal
yang benar yang mereka lakukan berdasarkan apa yang mereka ketahui dari
bacaannya? Tanggung jawab siapa menyajikan bacaan yang berbobot, memengaruhi
mereka untuk memilih bacaan yang bergizi bagi nurani, dan menyebarkan kebenaran
melaui bahasa yang baik? Saya yakin, kita merasa terpangil untuk ikut
bertanggung jawab. Minimal kita akan lebih berhati-hati dalam menyampaikan
pesan baik lisan atau tertulis di mana pun. Bahkan, pada akhirnya kita merasa
butuh menyajikan pembicaraan dan tulisan yang tepat untuk menjadi contoh. Ya.
Tidak ada pilihan selain mendidik diri kita sebagai orang dewasa yang layak
digugu dan ditiru.
Apakah ajakan ini terasa susah,
Teman? Mungkin tidak mudah, tapi jangan menyerah. Satu langkah paling sederhana
adalah memproses semua informasi yang ingin disampaikan melalui proses berpikir
agar kualitas pembicaraan dan tulisan yang kita hasilkan bisa menjadi informasi
yang layak “didengar dan dibaca”. Inilah
salah satu hikmah mengapa Allah ciptakan satu mulut dan dua telinga.
No comments:
Post a Comment