Monday, December 7, 2020

Satu Mulut, Dua Telinga

Perkembangan berbahasa manusia paling awal dimulai dari mendengar. Indera pendengaran paling pertama berkembang sejak dalam kandungan. Otak anak manusia merekam suara-suara yang sering ia dengar sehingga ketika lahir ia dapat mengorelasikan suara dengan sosok yang perlahan secara visual menjadi jelas di matanya. Selanjutnya dengan suara dan intonasi yang ia pelajari, sang anak akan belajar mengorelasikan suara, intonasi, dan mimik.

Fase peniruan dilakukan dalam rangka memberikan respon pada dunia di luar kandungan. Anak belajar menggunakan indera pengecap yang juga dapat menghasilkan suara. Tahap babbling pun menambah jenis suara yang dihasilkan oleh anak selain menangis dan tertawa.  Pada tahap tertentu, ia mulai mengucapkan satu kata, diikuti beberapa kata, sehingga dapat memproduksi satu kalimat utuh dan dapat dimengerti orang di sekitarnya.

Kemampuan berbicara akan meningkat menjadi keterampilan berkomunikasi yang dipelajari tiap anak manusia secara natural. Ditambah dengan didikan yang menekankan pada adab dan akhlak, dipastikan kemampuan berbicara seorang anak akan berkembang dengan baik. Banyak sekali ungkapan yang menyiratkan betapa kemampuan berbicara dapat membawa keberuntungan atau bahkan kehancuran satu orang hingga satu bangsa.

Pengibaratan lisan (sebagai perwakilan istilah bicara) dengan pisau yang ketajamannya bisa melukai penutur atau pendengar, sangat akurat. Berbicara yang sifatnya natural dapat dilakukan dengan proses berpikir walau terkesan otomatis namun peran otak dalam mengelola pilihan kata yang ingin disampaikan tidak bisa dielakan. Maka, mengenai lisan yang menjadi pisau adalah perkataan yang dihasilkan tanpa melalui proses berpikir yang panjang. Sekali lagi, hal ini terjadi karena proses berpikir yang dilakukan penutur tidak dilatih dengan adab yang baik hingga menghasilkan penilaian akhlak yang buruk.

Berbeda dengan menulis yang membutuhkan kemampuan berpikir satu tahap di atas berbicara, pertanggungjawaban dan efek penulisan lebih berat lagi. Sebuah tulisan dapat menjadi bukti sejarah. Produksi kepenulisan dapat membuka wawasan dan menggerakan. Lebih jauh lagi, tulisan dapat menjadi warisan peradaban. Maka, sebuah kebudayaan sangat bergantung dengan kualitas kepenulisan dan konsumsi tulisan masyarakat pada masanya. Mengapa kekuatannya bisa lebih dahsyat? Tentu saja karena untuk menulis, manusia memerlukan wawasan yang beragam. Ia harus mampu memilih kata yang sesuai untuk disampaikan dengan cara yang benar pada pembacanya agar maksud penulis bisa sampai dengan baik.

Mari kita lihat kualitas tulisan yang beredar di sekitar kita dan mungkin saja menjadi konsumsi anak-anak penerus bangsa. Berapa banyak hal baik yang mereka cerap? Berapa banyak hal yang benar yang mereka lakukan berdasarkan apa yang mereka ketahui dari bacaannya? Tanggung jawab siapa menyajikan bacaan yang berbobot, memengaruhi mereka untuk memilih bacaan yang bergizi bagi nurani, dan menyebarkan kebenaran melaui bahasa yang baik? Saya yakin, kita merasa terpangil untuk ikut bertanggung jawab. Minimal kita akan lebih berhati-hati dalam menyampaikan pesan baik lisan atau tertulis di mana pun. Bahkan, pada akhirnya kita merasa butuh menyajikan pembicaraan dan tulisan yang tepat untuk menjadi contoh. Ya. Tidak ada pilihan selain mendidik diri kita sebagai orang dewasa yang layak digugu dan ditiru.

Apakah ajakan ini terasa susah, Teman? Mungkin tidak mudah, tapi jangan menyerah. Satu langkah paling sederhana adalah memproses semua informasi yang ingin disampaikan melalui proses berpikir agar kualitas pembicaraan dan tulisan yang kita hasilkan bisa menjadi informasi yang layak “didengar dan dibaca”.  Inilah salah satu hikmah mengapa Allah ciptakan satu mulut dan dua telinga.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...