Thursday, March 18, 2021

Bukan Problem Solver, tapi Solution Maker

Menjadi sehat secara jasmani dan ruhani di saat seperti ini menjadi prioritas manusia pada umumnya. Tentu saja, selain bertahan untuk hidup, kemampuan menjaga kesehatan mental dan fisik menjadi perhatian lebih belakangan ini. Betapa tidak, kecemasan menjadi wabah yang lebih mewabah tinimbang covid 19. Kecemasan yang diawali atau mengakibatkan ketakutan akan sesuatu yang buruk menimpa diri dan orang-orang tersayang karena inveksi virus menjadi lebih berbahaya daripada penyebaran virus yang bisa disiasati ini. Ketakutan menyebar sangat cepat. Masuk ke dalam relung sanubari warga dunia dari yang tua sampai yang muda. Bahkan mereka yang secara fisik sehat paripurna pun sempat ketakutan dengan kemungkinan terburuk yang belum tentu menimpa mereka; yang sangat mungkin diminimalisir dengan langkah bijak dan realistis tentu saja.

Kunci penanganan segala macam kejadian buruk adalah mengenal lebih jauh segala hal berkaitan dengan hal tersebut. Meningkatkan pengetahuan diri dan memperluas pemahaman mengenai bagaimana agar populasi manusia tidak merosot karena kematian yang disebabkan oleh ketakutan. Ya. Sangat jarang studi kita temukan mengenai kematian yang diusut dikarenakan efek tidak langsug dari Covid ini. Namun, begitu kita menemukannya, sungguh mengejutkan. Kesehatan mental yang justru merosot tajam di masa ini leih memprihatinkan ketimbang virus itu sendiri. 

Pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah, apa yang bisa kita lakukan? Singkatnya, saya mengingat istilah Solution Maker untuk saya gunakan dalam tulisan di postingan kali ini. Saya memilihnya lebih dari penggunaan Problem Solver karena titik intention dalam Solution Maker lebih dalam maknanya. Dalam Solution Maker, seseorang tidak harus berada dalam lingkaran Problem atau masalah, namun tetap bisa berpikir kemungkinan jalan keluar dari sebuah permasalahan yang terpampang. Solution Maker adalah jawaban kreatif dan empatik yang dapat menjadi alternatif paling bijak saat ini.

sebagai Solution Maker, apa yang akan Anda lakukan begitu mengetahui mengenai angka kematian yang tinggi karena masalah mental di masa ini begitu melonjak. Hanya sebagian kecil yang disadari bahwa penyebab kematian tersebut dikarenakan masalah mental dan lebih sedikit lagi yang tertangani dengan baik. Mungkin suatu saat dalam satu atau dua tahun, status pandemi akan dihapuskan. Mungkin Covid akan dianggap seperti flu biasa nanti. Mungkin. Tapi, apakah penyakit mental berupa kecemasan dan ketakutan ini, yang kemudian akan mempengaruhi pola asuh yang tentu saja akan menjadi tongkat estafet ke genrasi selanjutnya akan hilang juga? Sepertinya, ketakutan akan covid akan hilang perlahan, tapi perilaku baru yang tidak sehat akan hadir dan melekat menjadi kepribadian baru warga dunia. inilah yang patut kita khawatirkan sebenarnya. Tentu kita tidak ingin #stayathome menjadi kebiasaan yang berketerusan karena ketakutan akan ancaman yang belum tentu terjadi.

Sebagai Solution Maker, mari kita pikirkan bagaimana agar sejak sekarang kita bisa menghindarkan penyakit mental ini bercokol lebih lama. Mari kita pahamkan pada dunia, bahwa dengan mengetahui karakter virus, cara menjaga kesehatan dan kebersihan yang benar, dan cara terbaik menghadapi jangkitan virus ini, insyaallah kita akan baik-baik saja. Mari kita alihkan ketakutan akan sesuatu yang kita sudah tau jawabannya menjadi hal yang lebih produktif dan membahagiakan. Berfokuslah pada kegiatan yang membuat kita sibuk dengan orientasi pada masa depan yang lebih cerah. Beberapa Solution Maker, menggalakan kegiatan di area terbuka dengan harapan mendapatkan kecukupan vitamin D, kualitas oksigen terbaik, dan keceriaan. Harapannya kualitas hidup akan membaik karena kebahagiaan yang menyeruak dalam jiwa akan menananmkan pemikiran postif untuk menghadapi hidup dengan segala konsekuensinya.

Hal yang saya paparkan di atas terkesan sederhana. Tapi, yakin sekali ketika kita fokus pada hal-hal yang produktif dan membahagiakan, kondisi fisik pun akan turut sehat. Perilaku hidup yang sehat dan bahagia ini akan menularkan kebaikan bagi sekitarnya seperti halnya istilah positive vibes yang menjadi familiar belakangan ini.


Thursday, March 4, 2021

Kraetif dan Proses Belajar Seumur Hidup

Menjadi kreatif sama dengan menantang diri untuk belajar terus. Belajar seumur hidup. Bagian dari belajar adalah mengamati hasil kreasi orang lain. Menikmati dan memperhatikan detail yang dihasilkan dari proses kreatif yang dilakukannya. Mencari tahu bagaimana ia bisa menghasilkan produk sebagus itu.

Saat ini tersedia berbagai aplikasi yang memudahkan proses kreatif utamanya yang melibatkan penggunaan gadget. Dimulai dari produksi video, musik, presentasi, publikasi, photografi, desain bangunan sampai desain interior, pencatatan keuangan, perencanaan pembelajaran, kelas maya, pasar, sampai projek masif yang melibatkan ribuan manusia menjadi sangat mudah diselenggarakan. Mungkin masih banyak aplikasi baru yang belum saya kenal. Akan sangat menyenangkan jika kita mengetahui berbagai aplikasi yang akan memudahkan pekerjaan kita.

Apakah kreatif selalu berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi? Tentu saja tidak. Seperti artikel yang saya tulis sebelumnya http://bungaketimun.blogspot.com/2020/12/proses-kreatif.html, proses kreatif ternyata hadir karena "tuntutan pemenuhan kebutuhan". Memang terkadang butuh "kepepet" agar kreatifitas dalam diri kita lahir. Memaksa diri sendiri untuk menghadirkan ide yang menjadi langkah awal untuk menghasilkan kreasi di tengah berbagai hambatan.

Berikut ini saya akan menampilkan beberapa produk render dari desain bangunan yang saya buat menggunakan homestyler new version. Sejujurnya, saya sempat merasa buntu karena ada beberapa pembaharuan yang tidak saya kuasai untuk menghasilkan produk seperti yang saya buat di versi lama. Setiap hari saya pelajari dan alhamdulillah sedikit-sedikit thumbnail di aplikasi ini dapat saya kuasa bahkan lebih baik dari sebelumnya. Apa relevansinya dengan pekerjaan saya di sekolah Saga Lifeschool? Sangat berhubungan karena dibutuhkan ide segar dan pemikiran jangka panjang dalam pengawasan dan perencanaan program di sekolah. Coba deh belajar sesuatu yang baru dan nikmati. Jangan bilang buang-buang waktu, karena proses yang kita jalani sejatinya mengajarkan diri kita kemampuan untuk berpikir lebih dalam dan lebih kreatif.












Friday, December 18, 2020

Backmasking

Menjadi kegusaran bagi saya ketika saya kehilangan sebuah kata untuk mewakili sebuah konsep. Alhamdulillah setelah dikulik, kata yang hilang ini akhirnya muncul lagi. Backmasking adalah kata yang hilang itu. Saya awalnya sadar bahwa kata itu hilang ketika saya tidak menggunakannya, tidak mengabadikan dan mengikatnya. Seperti yang kita ketahui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai ini yang dituliskan dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 2026,

قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ

Ikatlah ilmu dengan dengan menulisnya

Oleh karena itu, Backmasking menjadi judul tulisan kali ini. Teknik ini adalah cara menyembunyikan pesan dalam lagu. Untuk menyamarkannya ada yang dibuat seperti berbisik, tertutup oleh suara bising, atau baru muncul setelah diputar balik. Biasanya Backmasking digunakan oleh kelompok yang melakukan ritual kegelapan, menyembah setan.

Ternyata selain pesan yang bisa diperoleh menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi atau yang biasa disebut Higher Order Thinking Skills, ada bentuk pesan terselubung yang hanya bisa diperoleh dengan teknik media tertentu. Di satu sisi saya merasa miris, untuk kecerdasan literasi saja para guru harus menggenjot agak keras agar siswanya terlatih apalagi dengan metode Backmasking. Makin banyak pesan yang tidak tertangkap yang menyebabkan banyak orang tersesat tanpa sadar.

Teringat hadits Rasulullah yang mengingatkan kita, bahwa:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Musim – Shahih)


Muncul pertanyaan saya untuk diri sendiri, sudah sampai mana saya mempersiapkan diri ini menjadi orang tua dan guru yang baik? Sudah melakukan apa saja agar generasi yang ditinggalkan nanti menjadi generasi yang cerdas dan menjadi pembela agama?

Sore merangkak malam. Saya bersyukur masih diberi kesempatan untuk berbagi. Semoga bermanfaat apa yang saya tebar di sini.

Thursday, December 17, 2020

Magang yang Dilakukan Siswa Sekolah Alam

Pemagangan akrab kita dengar dan dilakukan oleh siswa di sekolah tingkat atas khususnya di sekolah kejuruan. Biasanya diselenggarakan untuk melihat apakah para siswa ini dapat mengaplikasikan teori yang didapat di dunia kerja. Di sekolah alam, pemagangan ini dilakukan bahkan sejak sekolah dasar kelas 5 dan 6 sampai SMA kelas tertinggi. Makna pemagangan mengalami perluasan di sini.

Siswa memulai kegiatan pemagangan tidak sebatas untuk mendapatkan pengalaman bekerja saja. Pemagangan di sekolah alam dimulai dari usia yang mungkin bagi sebagian orang terlihat “terlalu dini”. Padahal sebelum keterampilan menguasai beberapa hal khusus yang sangat diperlukan oleh seorang individu di dunia kerja, ia perlu mencapai kematangan sosialnya terlebih dulu dan bidang ini harus dilatih sejak kecil agar karakter baik juga karakter kuatnya tumbuh dengan baik. Menurut Majalah YFS, karakter yang diharapkan dari proses magang adalah Inisiatif, Perilaku yang Positif dan Kemauan untuk Belajar, Kemampuan Beradaptasi, Kemampuan Bicara secara Profesional, dan Kemampuan Berpikir Kritis.

Lima karakter tersebut seperti yang kita ketahui, tidak hanya diperlukan untuk menjalankan pekerjaan di bidang tertentu, namun menjadi bekal berkehidupan yang berkualitas. Karakter yang akan muncul dalam pemagangan inilah yang menyebabkan Saga Lifeschool mempersiapkan siswa untuk mengalami pengalaman magang sejak dini (Kelas 5 SD). Jangan dibayangkan siswa SD duduk di belakang meja dan melakukan beberapa pekerjaan seperti yang dilakukan oleh siswa sekolah menengah atas. Saga Lifeschool menyusun kegiatan magang dengan diferensiasi sesuai dengan target karakter yang ingin dicapai dan tahapan perkembangan tiap usia.

Pengembangan Kurikulum menjadi hal lazim yang dilakukan di sekolah alam. Oleh karena itu, penyusunan program pemagangan yang dilkukan oleh Saga Lifeschool mungkin berbeda dengan sekolah alam yang lain. Namun secara umum, target karakter yang ingin dicapai tetap sama. Tahapan magang, lokasi, target, durasi, bidang pemagangan disubstraksi dengan unik. Saga LIfeschool memperkenalkan tahapan magang menjadi Magang Karakter, Magang Sosial, dan Magang Bakat.

Siswa mengalami pemagangan dari hal yang terkesan “remeh”, yaitu mengikuti kegiatan beraktifitas masyarakat dengan kondisi sosial dan ekonomi yang berbeda dari kehidupan kesehariannya. Ada yang magang di warung kecil di sebuah kampung, ada yang ikut menjadi petani di kampung yang sama. Aktifitas sederhana dengan kondisi sosial ekonomi berbeda inilah yang pada akhirnya memunculkan karakter yang disebutkan sebelumnya. Jika kegiatan sederhana dilakukan oleh siswa SD dengan waktu yang tidak lama, maka siswa SMP dan SMA akan mengalami pengalaman yang lebih kompleks dan semakin lama semakin spesifik dengan keminatan masing-masing.

Sekolah Alam (yang) Berbeda

Sekolah alam kata orang berbeda. Sekolah alam adalah sekolah yang tidak biasa, sedikit aneh. Sekolah Alam adalah sekolah untuk anak-anak yang sedikit berbeda, yang tidak biasa, bahkan sedikit aneh. Jadi kalau ada anak yang tidak seperti yang lain, maka sebaiknya sekolah di sekolah alam. Jangan di sekolah tempat anak kebanyakan sekolah. Jika sudah terlanjur dan tidak bisa mengikuti kegiatan di sekolah umum, maka sebaiknya pindah ke sekolah alam.

Kalimat di atas adalah ujaran yang sangat umum mengenai sekolah alam. Tidak dipungkiri, sekolah alam merupakan sistem pendidikan yang berbeda dengan sistem yang diselenggarakan oleh sekolah pada umumnya. Secara kasat mata bisa dilihat, siswa tidak menggunakan seragam kecuali dalam keadaan tertentu yang membutuhkan identifikasi lembaga. Sekolah alam biasanya memiliki rompi, topi, atau kaos khas sebagai penanda sekolah. Namun, seragam ini bukanlah pakaian sekolah yang harus dipakai setiap hari. Kedua, bentuk bangunan sekolah alam biasanya mengedepankan konsep “menyatu dengan alam” sehingga sebagian besar mudah terakses dengan luar kelas. Biasanya konsep saung menjadi andalan. Lapangan terbuka dan jumlah pepohonan lebih dominan dibandingkan dengan bangunan permanen yang berdinding tertutup.

Bagaimana dengan kurikulum? Jika boleh saya katakan, model kurikulum tiap sekolah alam berbeda untuk tiap lembaga. Mengapa? Tentu karena sekolah alam tidak membuat pakem detail mengenai sajian kurikulum yang diterapkan. Setiap lembaga diberikan kebebasan untuk mengembangkannya sesuai dengan nilai yang dijadikan patokan dan kearifan lokal tempat sekolah alam tersebut berdiri. Walau pun demikian, sekolah alam memiliki Core Value yang disepakati menjadi jiwa dari pengembangan kurikulum setiap sekolah. Core Value tersebut adalah Bakat dan Lifeskill, Seni dan Kreatifitas, Lingkungan dan Konservasi, Logika dan Pengetahuan.

Oleh karena itu, kita tidak bisa melakukan perbandingan kualitas tiap lembaga karena masing-masing sekolah alam memilliki identitas sendiri. Tak heran jika Sekolah Alam Bekasi (SaSi) berbeda dengan SagaLifeschool dan lain-lain. Bagaimana kriteria sekolah alam yang baik jika semua sekolah alam menawarkan kurikulum terbaik? Penilaian baik atau tidaknya menjadi subjektif ketika ukuran yang dipergunakan tidak sama. Apakah ukurannya bisa disamakan? Tentu tidak. Ukuran tersebut bersifat personal dan unik. Keunikan yang sama dengan yang dimiliki sekolah alam. Inilah mengapa, banyak kalangan menyebutkan, sekolah alam adalah sekolah yang memanusiakan manusia.

Wednesday, December 16, 2020

Kangen Sekolah

Apakah ada anak yang tidak rindu kembali bersekolah? Anak sebagai individu berkembang sangat membutuhkan lingkungan sosial, tentu yang paling rindu untuk kembali bertemu teman-temannya adalah anak. Mereka rindu untuk bermain, berbagi cerita, dan berkegiatan bersama.

Namun, ternyata ada juga anak yang mulai merasa nyaman dengan keadaan “di rumah saja”. Efek nyaman di rumah karena individu tersebut merasa cukup terpenuhi kebutuhannya dengan berbagai kegiatan pengganti yang selama ini dilakukan. Kadang kegiatan pegganti ini menimbulkan efek negatif. Beberapa siswa dikeluhkan mulai kecanduan gadget, melakukan pembicaraan yang tidak pantas dengan orang asing, menunjukan gejala kegelisahan dan kecemasan tingkat inggi bahkan ada yang berpikir lebih baik mati daripada menghadapi kondisi yang serba tidak pasti ini. Sebagian besar menunjukan kondisi tidak berani melakukan aktifitas selain di rumah dan tidak berani bertemu sama sekali dengan individu lain. Kita mengenalnya dengan istilah Cabin Fever.

Bagaimana pun, kembali ke sekolah adalah kegiatan yang akan dilakukan seluruh pelajar di belahan bumi ini. Cepat atau lambat kebijakan ini akan diterapkan. Terlihat berbagai upaya dilakukan oleh orang tua dan lembaga pendidikan turut mempersiapkan siswa untuk kembali belajar di sekolah. Persiapan ini terkait beberapa upaya agar kembali ke sekolah menjadi aktifitas yang aman, nyaman, membahagiakan, dan menyehatkan jiwa raga semua pihak. Termasuk menihilkan pemikiran peimistik dan berbagai berita yang membuat seolah tidak terbuka kemungkinan akan perbaikan kondisi.

Saga Lifeschool menghadirkan lagu yang menceritakan kerinduan anak-anak untuk kembali bertatap muka lagi di sekolah yang mereka cintai. Klik di sini untuk melihat lagunya: https://www.youtube.com/watch?v=xxQN8BTYKD4&t=5s



Lagu ini diciptakan sebagai bagian dari upaya untuk menyuarakan kerinduan para pelajar di mana pun dan di sekolah alam secara khusus. DIharapkan, pelajar di Saga Lifeschool tetap ceria dan yakin bahwa semua hal yang membatasi geraknya akan kembali seperti semua. Allah telah siapkan hal-hal baik untuk kita semua. Semoga rindu sekolah terobati segera dan kita bisa melakukan aktifitas seperti biasa. 

Biaya Pendidikan, Hadiah, dan Rasa Syukur

Pada masa seperti ini masih banyak orang tua yang menahan anaknya untuk bersekolah. Mereka enggan mendaftar karena ada beberapa hal yang menurut pengamatan banyak pihak belum aman untuk kembali bersekolah secara tatap muka. Namun, tidak sedikit pula yang memberanikan diri untuk mendaftarkan anak mereka bersekolah. Meninjau hal ini, sebagian besar sekolah pun ternyata mengalami penurunan jumlah siswa yang didaftarkan untuk tahun ajaran baru ini. Merata, perubahan terjadi di semua sisi kehidupan.

Namun, mari kita kembali meyakini bahwa tahun depan yang tinggal beberapa hari ini akan lebih baik dari tahun sebelumnya. Kita menjadi lebih terlatih dan lebih kuat sehingga disadari atau tidak, kondisi akan membaik seiring mental dan fisik para penghuni dunia yang juga membaik. Ada yang hilang dan ada yang datang. Penyesuaian dilakukan secara natural dan pasti ada usaha yang dilakukan agar kita mampu bertahan di episode slanjutnya.

Jika kita sebagai orang tua menyempatkan diri untuk mengingat betapa susah payahnya kita mendampingi anak-anak belajar dari rumah, muncul dalam diri penghargaan yang sangat tinggi kepada para pengajar karena telah begitu sabar. Begitu pun jika kita sebagai guru mengingat betapa susahnya mengajar jarak jauh, maka hadir ke sekolah dan mengajar siswa secara langsung ternyata lebih mudah dan sangat membahagiakan.

Hitungan biaya pendidikan sepertinya mulai direduksi bukan hanya pada jumlah rupiahnya namun nilai dari biaya yang dikeluarkan. Berbahagialah sekolah dan wali siswa yang bersepakat dan berbahagia dengan biaya pendidikan yang dapat dikelola semaksimal mungkin untuk peningkatan kualitas pendidikan. Di sinilah sebutan mahal atau murah menjadi “relatif”.

Ada kebiasaan yang kita temukan di sekolah pada saat pembagian rapot dan kelulusan, orang tua berbondong-bondong memberikan hadiah kepada para guru. Para wali siswa ini menunjukan rasa sayang dan kebahagiaannya karena anak-anak mereka menjalani proses belajar dengan membahagiakan. Bagi mereka, gaji yang diterima para pendidik peradaban ini masih kurang menunjukan kebahagiaan yang muncul dalam diri. Di sisi lain, pemberian hadiah ini ternyata memiliki efek yang tidak baik dalam skala besar. Bukan hanya kemungkinan kecemburuan sosial dan perilaku tidak adil yang akan muncul, namun Rasulullah sudah mengingatkan kita melalui riwayat Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi,

مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

“Barangsiapa yang kami tugaskan untuk mengerjakan suatu pekerjaan dan kami telah memberinya upah, maka apa yang diambilnya dari selebihnya adalah ghulul (pengkhianatan).”(Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib,1/191)

Insyaallah rasa syukur dan kebahagiaan orang tua dan guru sudah sangat cukup tanpa harus dibuktikan dengan pemberian hadiah. BIaya yang dikeluarkan, jerih payah yang diusahakan, dan timbal balik kemanusiaan sudah diatur sedemikian rupa dalam keadaan saling ridha. Insyaallah baik guru dan orang tua akan mendapatkan hadiah terbaik dari sisi Allah karena telah mengupayakan yang terbaik untuk masa depan penerus bangsa yang lebih baik.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...